“Islam
Yes, Politik No”.
demikianlah kalimat singkat pernyataan dari seorang
cendekiawan mulism Indonesia, Nurcholis Madjid (alm.) yang biasa di
panggil Cak Nur, di era 70 – an. Gagasan ini dilontarkan dalam rangka
mendukung gagasannya yang saat itu sudah sering dikampanyekan, yakni
“sekularisasi”. Meski saat ini jargon tersebut sudah tampak lama sekali,
namun jargon warisan Cak Nur ini masih sangat terasa nyata pengaruhnya
di tengah-tengah masyarakat, khususnya kaum muslim Indonesia hingga saat
ini.
Bagi kalangan tradisionalis, gagasan ini
semakin memperkuat pandangan mereka terhadap pemisahan agama dari
politik. Ini disebabkan karena realitas perpolitikan yang ada
ditengah-tengah masyarakat saat ini memang dipenuhi dengan kekotoran dan
kemunafikan. Kekotoran inilah yang dalam pandangan mereka dapat menodai
kesucian agama (baca : Islam). Pandangan kaum tradisionalis ini semakin
mentajassud/mendarah daging dengan munculnya jargon-jargon dari para
kiayi atau tokoh mereka yang menguatkan pemahaman tersebut. Adalah Gus
Dur (alm), dengan lantangnya pernah
menyatakan bahwa “politik itu najis”, meski pada akhirnya ia sendiri
terjun ke dunia politik dengan membentuk PKB sebagai pecahan dari PPP.
Terlepas dari hal tersebut di atas,
pertanyaan mendasar yang sekarang penting untuk dijawab : apakah benar
Islam tidak mengenal politik?
Sebelum mengetahui bagaimana Islam
memandang persoalan tersebut di atas, ada baiknya kita meninjau beberapa
pengakuan dari beberapa tokoh politik dunia terhadap hal tersebut. John
L. Esposito dalam Islam and Politics, dengan jujur mengakui
realitas sejarah umat Islam di masa awal hingga keruntuhannya senantiasa
berpaku kepada aqidah Islam, Esposito menyatakan bahwa Agama (Islam)
memberikan pandangan dunia, gagasan untuk kehidupan pribadi dan bersama,
baik pada masa khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiah, menurutnya
dasar ideologi masyarakat maupun Negara saat itu adalah Islam. Lebih
lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa,
lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam.
(Esposito, 1990).
Bukan hanya Esposito, banyak sekali
orientalis lainnya – terlepas dari kesimpulan yang diambilnya dan juga
maksud dari pernyataan-pernyataannya – yang mengakui bahwa Islam bukan
sebatas agama spiritual (ruhiyah) melainkan agama politik (siyasiyah).
Adalah Fathi al-Durayni, ilmuwan asal Yordania, dalam bukunya Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm,
berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep
agama. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan
politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat; Hal-hal yang biasanya
dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa aktivitas
politik politik kaum muslim dipandang sebagai ibadah, seperti halnya
sholat, zakat, puasa dan sebagainya.
Senada dengan itu, al-Qaradawi menyatakan
bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri.
Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan
satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam.
Pendapat-pendapat para ulama dunia di atas sejalan dengan ulama-ulama
terdahulu. Ibn Taymiyyah, misalnya, beliau menyatakan bahwa kekuasaan
politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama).
Pengertian Politik
Politik berasal dari Bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites – warga negara) dan πόλις (polis – Negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan polisi, kebijakan.
Kata “politis” berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata
“politisi” berarti orang-orang yang menekuni hal politik. Dalam
perspektif barat, politik seringkali dimaknai sebagai kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau
kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan).
Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan,
siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara
lain (KBBI online). Dari pengertian tersebut, maka istilah politik
dilihat secara bahasa lebih menekankan kepada kekuasaan, peraturan
urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan.
Sedikit berbeda dengan pengertian di atas, Politik dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah Siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya dalam kamus Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al-Amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur urusan). Kata sasa-yasusu-siyasatan berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan dan mengatur dan memelihara urusan.
Jika dalam Bahasa Inggris “politik” identik dengan kekuasaan, maka dalam Bahasa Arab arti “siyasah”
lebih menekankan pada arti pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan
penekanan dalam mengartikan politik, membawa konsekuensi pelaksanaan
perpolitikan dewasa ini. Maka wajar saja jika politik sekarang lebih
mengedepankan perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat.
Oleh karena itu, wajar jika Harold Laswell dalam Who Gets What, When and How
yang lebih mengedepankan masalah politik dengan berkutat pada persoalan
SIAPA mendapat apa, kapan dan bagaimana. Falsafah inilah yang saat ini
dianut oleh kebanyakan orang (politikus) saat ini untuk meraih
kepentingan pribadi,kelompok dan pemilik modal.
Politik Islam
Politik (siyâsah) adalah
pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan
oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan
pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam
pengaturan tersebut (An Nabhani, 2005). Politik Islam berarti pengaturan
urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.
Definisi ini juga diambil dari
hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban
mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin.
Rasulullah saw bersabda:
“Seseorang yang ditetapkan Allah
(dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan
nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga” (HR.
Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra)
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda:
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin
dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang
nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan
nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah”.(H.R. Imam Muslim
dari Abi Hazim)
Pengertian di atas merupakan pengertian
syar’i karena diambil dari dalil-dalil syara’. Dari definisi ini pula,
dapatlah kita klasifikasikan bahwa politik Islam melibatkan dua pelaku,
yaitu Negara dan Umat/rakyat, kemudian meliputi pengaturan dalam negeri
dan luar negeri, dan terakhir adalah sumber legislasinya adalah hukum
Islam.
Terkait dengan legislasi, Islam
menetapkan bahwa perundang-undangan harus berasal dari Sang Pencipta
(Allah), karena Dialah yang telah menciptakan alam semesta dan manusia
berikut aturannya. Maka yang berhak mengeluarkan hukum atas sesuatu (asyâ) dan perbuatan (af’âl) adalah Allah sebagai Pembuat Hukum (al-Syari’) sebagaimana firman Allah SWT;
“Menetapkan hukum hanyalah milik
Allah. Dialah menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang
terbaik.” (TQS. al-An’am (6) : 57)
Atas dasar inilah maka dalam Islam
kedaulatan berada di tangan Syara’ bukan di tangan rakyat, dimana
manifestasinya tertuang di dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta yang
sumber lain yang ditunjuki oleh keduanya yakni berupa ijma sahabat dan qiyas syar’iyyah. Keempat sumber rujukan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum syara’ (Syari’at Islam).
Mayoritas ulama Islam tidak berbeda pendapat dalam menentukan siapakah
al-Hakim (Pembuat Hukum) dalam Islam. Imam al Syaukani menyatakan tidak
ada perselisihan dalam masalah ini (Khalidi, 2004).
Penutup
Mendefinisikan politik Islam dengan term
politik sekarang malah akan membawa kepada kekaburan pengertian politik
yang diambil oleh Islam. Secara bahasa pun, Islam mengambil term Arab “Siyasah” yang berarti pengaturan urusan umat,
bukan pengertian politik saat ini yang menekankan kepada kekuasaan.
Maka wajar saja jika umat Islam yang ingin menjaga kemurnian ajarannya
menolak politik yang sekarang diterapkan oleh negeri ini juga oleh
parpol-parpol Islam. Kekhawatiran menjadikan agama sebagai tameng dalam
meraih kekuasaan politik akhirnya menjadi kenyataan. Alih-alih ingin
menerapkan syariah Islam melalui jalur politik, namun yang diambil
adalah politik dalam term sekuler mengakibatkan dirinya terjerumus dalam
kekacauannya.
Perbedaan penekanan dalam penggunaan istilah antara “politik” dan “siyasah”,
bukan berarti harus ada penggantian dari kata politik dengan kata
siyasah. Karena secara subtansi pengertian keduanya diambil dari
realitas aktivitas politik yang sebenarnya, yaitu pengaturan urusan umat
baik di dalam ataupun di luar negeri. Perbedaannya hanyalah dari sisi
penggunaan aturan dan hukum yang berbeda sesuai dengan ideologinya.
Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar